Survey Nielsen : Orang Indonesia Lebih Suka Menabung Dibanding Belanja

TEMPO Interaktif, Jakarta - Konsumen Indonesia masih belum memiliki kepercayaan dalam membelanjakan uangnya secara besar-besaran. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya orang yang menabung.

Berdasarkan survey Nielsen pada kuartal pertama 2011, sebanyak 70 persen konsumen Indonesia mengatakan menyimpan uangnya untuk ditabung. Adapun pada kuartal keempat tahun lalu, ada 72 persen konsumen Indonesia yang menabung.


"Meskipun ada sedikit penurunan pada jumlah konsumen yang menabung, ini merupakan indikasi bahwa konsumen di Indonesia masih berhati-hati untuk belanja," kata Managing Director Nielsen, Catherine Eddy, di Jakarta, Selasa, 31 Mei 2011.

Selengkapnya...

Wawancara Imajiner dengan Usamah bin Laden: Saya tidak Sembunyi di Pakistan

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD--Tewasnya Usamah bin Ladin masih menjadi pembahasan di Pakistan. Mulai dari pembahasan serius yang melibatkan banyak analis teror dan keamanan, hingga ke pembahasan ringan yang penuh humor.

Seperti yang ditulis oleh salah satu kolumnis senior harian terkemuka di Pakistan, Dawn, Nadeem F Paracha. Dia menulis artikel dalam bentuk wawancara tanya jawab, mengulas soal tewasnya Usamah.


Yang membuat artikel ini unik adalah, Paracha membuatnya jadi semacam wawancara imajiner antara Usamah dengan paranormal yang bisa berkomunikasi dengannya. Berikut kutipan artikel berjudul 'Dead Man and The Sea' yang mendapat ratusan tanggapan itu:

Kami meminta bantuan cenayang Abdul Qadir Awami Badami untuk menghubungkan kami dengan roh Usamah bin Ladin. Kami ingin bertanya pada Usamah, apa sebenarnya yang terjadi di malam penyergapan oleh US Navy SEALS di Abbottabad itu.

Abdul Qadir Awami Badami (AQAB): Usamah, bisakah Anda mendengar saya?
Usamah bin Ladin: Ya..ya.. Di mana saya?

AQAB: Anda ada di dasar laut Usamah
Usamah: Laut? Oh pantas.. di sini banyak ikan. Apakah saya sudah meninggal?

AQAB: Ya, sepertinya
Usamah: Hmm.. Bagaimana saya bisa meninggal?

AQAB: Kami berharap Anda yang bisa menceritakan itu pada kami...
Usamah: Yang saya ingat saat itu hari sudah malam. Saya menunggu pesuruh saya membawa makan malam. Lalu saya mendengar suara helikopter. Saya kira itu pesuruh saya membawa makan malam. Mungkin dia ada rencana membuat pesta kejutan untuk saya. Saya tentu saja senang kalau itu benar. Tapi...

AQAB: Pesuruh Anda kerap membawakan makan malam?
Usamah: Ya..ya.. Saban Senin dan Selasa dia membawa Biryani. Rabu dia membeli ayam chowmein. Kamis steak. Sabtu dan Ahad kami makan sayuran.

AQAB: Loh Jumat makan apa?
Usamah: Oh Jumat saya yang memasak. Istri saya pandai memasak jadi kami makan malam bersama-sama.

AQAB: Oh begitu. Jadi mereka tahu Anda bersembunyi di Abbottabad?
Usamah: Loh tentu saja. Kan mereka istri saya!

AQAB: Bukan, maksud kami, pesuruh itu. Apakah dia tahu Anda Usamah?
Usamah: Oh.. saya kira. Tidak. Menurut mereka, saya hanyalah pebisnis Arab yang berurusan dengan peternakan unta dan ekspor impor.

AQAB: Betulkah? Mereka tidak mencek lagi profil Anda?
Usamah: Mereka tidak bisa mendeteksi saya. Oh tadi Anda katakan saya bersembunyi.

AQAB: Ya. Bukankah betul Anda bersembunyi?
Usamah: Tidak sama sekali!

AQAB: Kalau tidak bersembunyi, kok pemerintah AS butuh waktu 10 tahun menemukan Anda?
Usamah: Ah.. Pemerintah AS itu bodoh. Mereka tak tahu apa-apa soal gua.

AQAB: Tapi Anda kan tidak sedang bersembunyi di gua!
Usamah: Ah teman, saya beritahu ya.. Seluruh Pakistan itu seperti satu gua yang besar.

AQAB: Kalau begitu, apakah orang-orang Pakistan tahu Anda bersembunyi di negara mereka selama ini?
Usamah: Teman.. Mereka bukan orang Pakistan kalau mereka tidak tahu.. Hehe..

AQAB: Ceritakan pada kami tentang persembunyian Anda di Pakistan
Usamah: Di Pakistan mengingatkan saya akan rumah

AQAB: Arab Saudi maksudnya?
Usamah: Bukan, Afghanistan. Hanya saja Pakistan lebih baik karena banyak mobil dan lift.

AQAB: Tapi Anda kan warga Saudi
Usamah: Pertama-tama saya adalah Muslim.

AQAB: Anda adalah Alqaidah. Anda dan Taliban, rekan Anda, telah membunuh ribuan warga Pakistan yang beragama Muslim. Bagaimana Anda menanggapi hal ini.
Usamah: Mereka (korban) adalah Muslim yang buruk.

AQAB: Anda terdengar seperti George W Bush.
Usamah: Ah.. Bush. Dia memang mitra bisnis yang baik. Tapi ini penggantinya, Obama ternyata sosok yang berbeda.

AQAB: Beda? Maksudnya? Dalam kebijakan dan strategi?
Usamah: Oh tidak. Maksud saya beda dalam warna. Obama kan hitam.
AQAB: Tapi dia tetap manusia!

AQAB: Amerika telah mengubur Anda di laut
Usamah: Wah kok bisa? Apakah Obama sudah masuk Islam? Saya terkejut, kok Amerika tahu kelompok kami tak ingin dikubur dengan penanda. Tapi saya cukup senang dikubur di laut. Sebab kalau tidak, pasti akan ada prasasti besar di makam saya, dan orang-orang akan datang untuk memujanya.

AQAB: Anda senang terhadap apa yang Obama lakukan pada Anda?
Usamah: Oh ya! Tapi minus tembakan di kepala saya ya.

AQAB: Oh jadi Anda ingat Anda ditembak di kepala?
Usamah: Well yang saya ingat sih saya tiba-tiba kena sakit kepala yang amat sangat. Tahu-tahu kepala saya sudah bolong.

AQAB: Apakah Pakistan terlibat dalam pembunuhan Anda?
Usamah: Well, ya. Setidaknya mereka menunda mengantar makan malam saya saat itu. Jadi saya tertembak dalam kondisi perut kosong. Sial!

AQAB: Jadi Pakistan tahu di mana Anda bersembunyi?
Usamah: Wah orang Pakistan saja tidak tahu di mana mereka berada. Apalagi saya. Eh..Apa kata media-media di Pakistan?

AQAB: Beberapa pembawa beritanya tampak terkejut dan sedih.
Usamah: Oh ya. Beberapa dari mereka pernah bekerja sebagai tukang masak dan tukang pijit saya.

Selengkapnya...

Bersikap Tenang

Rasulullah pernah berkata kepada al-Mundzir, kepala kabilah Abdul Qais, "Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah, yaitu sifat penyabar dan tidak suka tergesa-gesa." Lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah aku berusaha berperilaku seperti itu, atau Allah menjadikanku berwatak dengan keduanya?" Nabi SAW menjawab, "Allahlah yang menjadikanmu berwatak dengan keduanya." Al-Mundzir pun berucap, "Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikanku berwatak dengan dua tabiat yang dicintai Allah dan Rasul-Nya." (HR Abu Dawud).

Sikap penyabar, lembut, kalem, dan tenang tak hanya dimiliki dan diserukan oleh Rasulullah, tapi juga dianjurkan oleh nabi-nabi yang lain. Mengapa begitu, karena kesabaran seorang penyabar-kata Ahmad ar-Rasyid dalam bukunya al-'Awa'iq-adalah benteng yang akan melindunginya dari fitnah, sifat pemarah, dan egois, sehingga ia mampu berlaku adil dalam berbagai keputusannya. Sedangkan sifat "tidak ceroboh" akan memberikan kesempatan untuk menganalisis dan menimbang-nimbang, sehingga tidak ada lagi keraguan.

Selengkapnya...

Penyimpangan NII

Dalam bahasa Al-Qur'an kata sesat atau kesesatan dlolla aw dlolalan: "Katakanlah, aku tidak akan mengikuti hawa nafsu kalian (karena) sungguh telah tersesatlah aku jika demikian, dan aku bukanlah termasuk dari pada orang-orang yang mendapat hidayah." (Q. S. Al-An'am: 56)

"Mereka itulah orang-orang yang telah menukar kesesatan dengan hidayah, maka tiadalah beruntung mereka dan tiadalah mereka menjadi orang-orang yang memperoleh hidayah. " (Q. S. Al-Baqarah: 16)

Sepak terjang KW IX dalam kurun waktu di bawah kepemimpinan Haji Abdul Karim dan kemudian Haji Muhammad Ra'is dari tahun 1984-5 s/d 1992 maupun di bawah kepemimpinan Abu Toto as-Syaikh AS Panji Gumilang (gelar kebesarannya saat ini) sejak dari tahun 1992 hingga tahun 2006 sekarang telah menimbulkan banyak korban. Secara riil yang lebih banyak dirugikan baik moril maupun materil oleh KW-IX sejak masa Haji Karim sampai Abu Toto adalah ummat Islam pada umumnya, dan secara khusus adalah kalangan NII atau DI (Darul Islam)

Selengkapnya...

Makna Ikhlas

Ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wata’ala dan mendapatkan keridhaanNya.

Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut:


Pertama, dia memang ingin ber-taqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.

Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah rodhiallaahu’anhu bahwasanya Nabi shollallaahu’alahi wasallam bersabda, “Allah subhanahu wata’ala berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.
“Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya.”[1]

Kedua, dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan ber-taqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16).

Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.

Ketiga, dia bermaksud untuk ber-taqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya -disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya; dia berhaji -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syiar haji (al-Masya’ir) dan bertemu para jamaah haji; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala mengenai para jamaah haji,

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُم
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 198).

Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya,

وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُواْ مِنْهَا رَضُواْ وَإِن لَّمْ يُعْطَوْاْ مِنهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58).

Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah rodhiallaahu’anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila-penj.) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullahsholallaahu’alaihi wasallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabisholallaahu’alaihi wasallam tetap menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala.”[2]

Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Umar bin al-Khaththab rodhiallaahu’anhu bahwasanya Nabishollallaahu’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrah-nya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut”.[3]

Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga.

Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisisi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”

Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka baik hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.
Yang jelas, perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.
Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas.”
Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugerahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal. Wallahu ‘alam. Syaikh Ibnu Utsaimin

Selengkapnya...

Silaturrahim Jalan Menuju Surga

Hendaknya kita menyambung hubungan silaturahim dengan kerabat dan orang lain dengan bijak. Baik dengan harta ataupun dengan pelayanan dan dengan berbagai bentuk silaturahim yang mengantarkan kita untuk taat dan terhindar dari perbuatan maksiat sehingga kita akan dikenang nilai kebaikan meskipun kita telah meninggal dunia, sebab orang yang dikenang kebaikannya oleh manusia setelah meninggal dunia merupakan umur kedua setelah kematiannya.


1. Keutamaan Silaturrahim
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ قَالَ مَا لَهُ مَا لَهُ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَبٌ مَا لَهُ تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ ” .رواه البخاري .
Dari Abu Ayyub Al-Anshori r.a bahwa ada seorang berkata kepada Nabi saw., “Beritahukanlah kepadaku tentang satu amalan yang memasukkan aku ke surga. Seseorang berkata, “Ada apa dia? Ada apa dia?” Rasulullah saw. Berkata, “Apakah dia ada keperluan? Beribadahlah kamu kepada Allah jangan kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tegakkan shalat, tunaikan zakat, dan ber-silaturahimlah.” (Bukhari).

Selengkapnya...