Bila Suami Istri Berkasih Sayang

'Seorang suami apabila memandang istrinya dengan kasih sayang & istrinyapun memandang dengan kasih sayang maka Allah memandang keduanya dengan pandangan kasih sayang. 
Bila suami memegang telapak tangan istrinya maka dosa-dosa keduanya berguguran dari celah jari-hari tangan keduanya'
(HR. Rafi'i).
Selengkapnya...

Kata Bijak : Do Your Best

Selengkapnya...

Bahasa Arab 3 : Kalimah

الْكَلِمَةُ
Al-Kalimah
Al-Kalimah (kata) adalah lafaz yang mempunyai makna.

A. Isim
Kata yang menunjukkan atas suatu makna, dimana kata tersebut  tidak terikatdengan waktu.
Contoh:
كِتَابٌ ـ بَيْتٌ ـ دِيْنٌ ـ بَابٌ ـ أسْتَاذٌ ـ شَجَرَةٌ

Selengkapnya...

Keutamaan Bulan Sya'ban


Saat ini kita telah memasuki bulan Sya'ban. Banyak orang melalaikan bulan Sya’ban, sebagai bulan biasa. Padahal Rasulullah saw menunjukkan keutamaan-keutamaan di bulan Sya’ban. Berikut taushiyah oleh Ustadz Salim A. Fillah mengenai keutamaan bulan Sya’ban:



Sya'ban adalah bulan ke-8 dalam Hijriah, terletak antara 2 bulan yang dimuliakan yakni Rajab & Ramadhan. Tentangnya RasuluLlah SAW bersabda: “Sya'ban; bulan yang sering dilalaikan insan; antara Rajab & Ramadhan. Sya'ban adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Rabb Semesta Alam; maka aku suka jika amalku diangkat, sedang aku dalam keadaan puasa. (HR. Ahmad dan Nasa'i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898).

Karena itu, berdasar riwayat shahih disebutkan bahwa RasuluLlah SAW berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya'ban. 'Aisyah RA berkata: "Tak kulihat RasuluLlah SAW menyempurnakan puasanya dalam sebulan penuh, selain di bulan Ramadan. Dan tidak aku lihat bulan yang beliau paling banyak berpuasa di dalamnya selain bulan Sya'ban. (HR Al Bukhari & Muslim). Dalam Shahih Al Bukhari (1970) ada tambahan dari 'Aisyah: "Tidak ada bulan yang Nabi SAW lebih banyak berpuasa di dalamnya. selain bulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya”. Maksud hadits itu adalah, beliau berpuasa pada sebagian besar hari-hari bulan Sya'ban, sebagaimana banyak riwayat lain yang menyatakan demikian. Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang bisa mengatakan 'berpuasa sebulan penuh' padahal yang dimaksud adalah berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu. Demikian keterangan Ibnu Hajar Al 'Asqalany dalam Fathul Bari, 4/213.


Maka berpuasa di bulan Sya'ban adalah utama, karena:
• 'Amal-'amal manusia (secara tahunan) sedang diangkat ke hadapan Allah SWT.
• Sya'ban ialah bulan yang disepelekan; beramal dan menghidupkan syi'ar di saat manusia lain lalai memiliki keutamaan tersendiri.
• Penyambutan dan pengagungan terhadap datangnya bulan Ramadan. Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya didahului oleh pembuka yang mengawalinya; Haji diawali persiapan Ihram di Miqat, Shalat juga diawali dengan bersuci, berwudhu', dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat.
• Hikmah lainnya, puasa di bulan Sya'ban akan membuat tubuh mulai terbiasa untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan optimal. Sebab sering di awal Ramadhan banyak daya dan waktu habis untuk penyesuaian diri; padahal tiap detik bulan mulia sangat berharga. Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mencantumkan pendapat: Puasa Sya'ban seumpama sunnah Rawatib (pengiring) bagi puasa Ramadhan. Untuk shalat; ada rawatib qabliyah & ba'diyah. Untuk Ramadhan, qabliyahnya; puasa Sya'ban & ba'diyahnya; puasa 6 hari di bulan Syawal. Keutamaan Sya'ban bisa kita lihat di: Tahdzib Sunan Abu Dawud, 1/494, Latha'iful Ma'arif, 1/244.

Nah, bagaimana tentang Nishfu Sya'ban? Hadits-hadits terkait Nishfu Sya'ban ini sebagian dikategorikan dha'if (lemah), bahkan sebagian lagi dikategorikan maudhu' (palsu). Khususnya hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu atau yang menjanjikan jumlah dan bilangan pahala atau balasan tertentu. Tetapi, ada sebuah hadits yang berisi keutamaan malam Nisfhu Sya'ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu.

"Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu Sya'ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali yang berbuat syirik atau yang bertengkar dengan saudaranya." (HR Ibnu Majah (1390)). Dalam Zawa'id-nya, riwayat ini dinyatakan dha'if karena adanya perawi yang dianggap lemah. TETAPI, Ath Thabrani juga meriwayatkannya dari Mu'adz ibn Jabal dalam Mu'jamul Kabir Ibnu Hibban juga mencantumkan hadits ini dalam Shahihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna'uth dalam ta'liqnya pada dua kitab terakhir berkata, "Shahih dengan syawahid (riwayat-riwayat semakna yang mendukung)”. Al-Albani juga menilai hadits Nishfu Sya'ban ini shahih {Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), Shahih Targhib wa Tarhib (1026)} Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun malam Nishfu Sya'ban, di dalamnya terdapat keutamaan." (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, 291).

Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan tabi'in di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma'dan & Luqman bin Amir. yang menghidupkan malam ini dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu pada malam Nishfu. Dari merekalah kaum muslimin mengambil kebiasaan itu. Imam Ishaq ibn Rahawayh menegaskannya dengan berkata, "Ini bukan bid'ah! 'Ulama Syam lain, di antaranya Al-Auza'i, tidak menyukai perbuatan berkumpul di masjid untuk shalat dan berdoa bersama di Nishfu Sya'ban. Tetapi beliau -dan 'ulama yang lain- menyetujui keutamaan shalat, baca al-Quran dll pada Nishfu Sya'ban jika dilakukan sendiri-sendiri. Pendapat ini yang dikuatkan Ibn Rajab Al-Hanbali (Latha'iful Ma'arif, 151) dan Ibn Taimiyah (Mukhtashar Fatawa Al Mishriyah, 292). Adapun 'ulama Hijaz seperti Atha', Ibnu Abi Mulaikah, dan para pengikut Imam Malik menganggap hal terkait Nishfu Sya'ban sebagai bid'ah. Tapi kata mereka; qiyamullail sebagaimana tersunnah pada malam lain dan puasa di siangnya sebab termasuk Ayyamul Bidh ialah baik. Demikian agar perbedaan pendapat ini difahami dan tak menghalangi kita untuk melaksanakan segala 'amal ibadah utama pada bulan Sya'ban.

Bulan Sya’ban adalah juga kesempatan tuk meng-qadha' hutang puasa Ramadhan kemarin sebelum datangnya Ramadhan berikut. 'Aisyah berkata: “Aku punya hutang puasa Ramadan, aku tak dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Nabi SAW. (HR Al Bukhari-Muslim) Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 8/21) dan Ibn Hajar (Fathul Bari, 4/189) menjelaskan; dari hadits 'Aisyah ini disimpulkan: Jika ada 'udzur, maka qadha' puasa bisa diakhirkan sampai bulan Sya’ban. Tanpa 'udzur, menyegerakannya di bulan Syawal dst lebih utama. Bagaimana jika lalai; tanpa 'udzur, hutang puasa belum terbayar, tapi Ramadhan baru telah datang? Jumhur 'ulama berpendapat: Dia harus beristighfar atas kelalaiannya pada kewajiban itu dan harus bertekad untuk segera meng-qadha'-nya setelah Ramadhan ini. Menurut mereka, tiada kewajiban khusus selain hal itu. Tetapi sebagian 'ulama berpendapat agar si lalai menambahkan 1 hal lagi. Yakni mengeluarkan 1/2 Sha' makanan pokok (lk 1,5 kg) untuk tiap hari yang terlalai belum dibayar hutang puasanya tahun ini. Ini sebagai pengingat atas kelalaiannya dan dia harus tetap mengganti puasa yang terlalai diganti tahun ini pada tahun depannya. Ini berdasar ijtihad beberapa sahabat Nabi SAW. Tak ada nash khususnya, tetapi ijtihad ini dianggap baik. (Fathul Bari, 4/189)

Jika masuk bulan Sya’ban, hendaknya kita saling mengingatkan (juga terutama pada kaum wanita) yang punya hutang puasa agar ditunaikan. Sehari atau 2 hari terakhir Sya’ban dinamakan sebagai Yaumusy-Syakk (hari keraguan), sebab ketidakjelasan sudah masuk Ramadhan/belum. Nabi saw bersabda: "Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa." {HR Al Bukhari & Muslim} Maknanya; terlarang untuk mengkhususkan diri berpuasa pada Yaumusy Syakk. Tetapi boleh bagi yang HARUS (nadzar, qadha', dll) dan boleh juga yang BIASA (karena puasa Dawud, bertepatan Senin/Kamis, dll). Hikmah pelarangan itu sekedar sebagai pemisah antara puasa Ramadhan yang fardhu dengan puasa sebelum/sesudahnya yang sunnah. (Syarh Muslim 7/194, Latha'iful Ma'arif 151)
<@salimafillah>
dtjakarta.or.id
Selengkapnya...

Pahala Sholat di Masjid Haram dan Masjid Nabawi


Pertama: Telah ada ketetapan pelipatgandaan pahala shalat di dalam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, no. 1406. Dari Jabir radhiallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ ، وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ

“Shalat di masjidku, lebih utama seribu kali (dibandingkan) shalat di selainnya kecuali Masjidil haram. Dan shalat di Masjidilharam lebih utama seratus ribu (dibandingkan) shalat di selainnya.“ (Hadits dishahihkan oleh Al-Mundziri dan Al-Bushoiry. Al-Albany berkata: “Sanadnya shahih sesuai persyaratan Bukhori dan Muslim, Irwaul Ghalil, 4/146).


Kedua: Telah ada di soal jawab yang menyebutkan perbedaan tentang ‘Masjidil Haram’ yang telah ada ketetapan pelipatgandaan (pahala). Apakah khusus di Masjid (yang ada) Ka’bah. Atau mencakup semua yang ada di dalam perbatasan (tanah) haram. Yang telah kami jelaskan bahwa pendapat yang kuat adalah yang pertama.

Ketiga: (Tanah) Haram di Madinah (pahalanya) tidak dilipatgandakan di dalamnya. Bahkan yang (ada pahala) dilipatgandakan khusus di dalam Masjid yang Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bangun saja. Dan para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai (apakah pahala tersebut masih) didapatkan dalam penambahan masjid sepeninggal beliau sallallahu’alaihi wa sallam? Mayoritas (ulama) berpendapat bahwa shalat di dalamnya dilipat gandakan sebagaimana dilipat gandakan dalam masjid yang asli. Mereka mengambil dalil akan hal itu dalam sebagian atsar.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Hukum tambahan (sama dengan) hukum yang ditambahi dalam masalah keutamaannya juga. Maka apa bagian tambahan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sallallahu’alaihi wa sallam semuanya sama dalam masalah pelipatgandaan (pahala) dan keutamaan.

Dikatakan: “Bahwa hal itu tidak ada perbadaan di kalangan ulama salaf dahulu.akan tetapi yang ada perbedaan adalah para ulama generasi khalaf, di antaranya Ibnu Uqail, Ibnu Al-Jauzi dan sebagian pengikut Imam Syafi’i. Akan tetapi telah diriwayatkan bahwa Imam Ahmad (berpendapat) tawaqquf (abstain) dalam hal itu.

Atsram berkata: “Saya berkata kepada Abu Abdullah, shaf manakah (yang disebut) shaf pertama di masjid Nabi sallalahu’alaihi wa sallam, karena saya melihat orang-orang berusaha berada sebelum mimbar dan meninggalkan shaf pertama? (beliau) berkata: “Saya tidak tahu, saya berkata kepada Abu Abdullah: “Apakah penambahan di Masjid Nabi sallallahu’alaihi wa sallam itu menurut anda termasuk di dalamnya? Beliau berkata: “Aku tidak memiliki jawaban, sesungguhnya mereka, penduduk Madinah, lebih mengetahui hal ini."

Diriwayatkan Umar bin syabah dalam kitab ‘Akhbaru Al-Madinah’ dengan sanad yang masih dipertanyakan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Kalau sekiranya masjid ini dibangun sampai San'a (Kota di negara Yaman) maka ia termasuk di dalam masjidku.’ Abu hurairah berkata: “Kalau sekiranya masjid ini diperpanjang sampai pintu rumahku, maka saya tidak lewati kesempatan untuk shalat di dalamnya."

Dalam sanadnya yang lemah, terdapat riwayat dari Ibnu Umar, dia berkata: “Umar menambah bangunan masjid hingga bagian Syamiah. Kemudian berkata: “Kalau kami tambah sampai Jabanah, maka ia termasuk masjid Nabi sallallahu’alaihi wa sallam."

Dengan sanadnya dari Ibnu Abi Dzi'bi, dia berkata, Umar berkata: “Kalau Masjid Nabi sallahu’alaihi wa sallam diperluas sampai ke Dzulhulaifah, maka ia termasuk di dalamnya.” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 2/479)

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 37/251: “Ada usulan untuk menambah bangunan Masjid Nabawi untuk perluasan dan penambahan dari apa yang ada sejak zaman Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Para ulama telah membahas hukum bangunan tambahan dari sisi pahala. Sebagian di antaranya mengatakan bahwa keutamaan yang telah ditetapkan pada masjid Nabi sallallahu’alaihi wa sallam juga ditetapkan pada tambahannya. Pendapat ini dipilih oleh Mazhab Hanafi, Hanbali dan pilihan Ibnu Taimiyah.

Ibnu ‘Abidin mengatakan: “Telah dimaklumi bahwa Masjid Nabawi telah ditambah. Umar, Utsman, Walid kemudian Al-Mahdi telah menambahnya. Maka isyarat tersebut (yakni dalam sabda Nabi sallallahu’alaihi wasallam “Dan Masjidku ini”) menunjukkan termasuk tambahan masjid juga. Tidak diragukan lagi bahwa semua masjid yang ada sekarang (tetap) dinamakan Masjid Nabawi sallallahu’alaihi wa sallam. Maka, karena petunjuk dan penamaan telah disepakati, maka penamaan tidak dapat digugurkan, dan dengan demikian pelipatgandaan (pahala) yang telah disebutkan dalam hadits, juga termasuk pada bagian tambahan masjid tersebut."

Sebagaimana dikutip oleh Al-Jara’i dari Ibnu Rajab (kesimpulan) seperti itu juga. Dikatakan bahwa tidak didapati dari kalangan (ulama) salaf perbedaan dalam masalah itu.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau tawaqquf (tidak memberikan pendapat). As-Samhudi –dari mazhab Maliki- menguatkan bahwa tambahan dari Masjid Nabawi termasuk dalam keutamaan yang ada di hadits.

Dikutip juga dari Imam Malik bahwa beliau ketika ditanya tentang batasan Masjid (Nabawi) yang ada dalam hadits, apakah ia seperti waktu zaman Nabi sallallahu’alaihi wa sallam atau seperti yang ada sekarang? Beliau menjawab: “Justeru, yang sekarang ada itu (termasuk batasan Masjid)." Lalu beliau (melanjutkan) berkata, karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah memberitahukan apa (yang akan terjadi) setelahnya, didekatkan baginya bumi, dan diperlihatkan kepadanya timur dan baratnya. Dan menyampaikan sesuatu yang ternyata terjadi setelah itu. Terlepas ada orang yang mengingatnya atau melupakannya. Kalau bukan karena (pandangan) ini, para Kulafaur Rasyidun tidak akan berani menganggap boleh menambahkannya di dalamnya, dengan disaksikan para shahabat dan tidak ada di antara mereka yang mengingkarinya.

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa keutamaan ini khusus pada Masjid Nabi sallallahu’alihi wa sallam yang ada pada zamannya saja tanpa tambahan yang ada setelahnya. Yang sependapat dengan ini adalah Ibnu Uqail, Ibnu Al-Jauzi dan sekelompok dari mazhab Hanbali.

Wallahu’alam .
Selengkapnya...

Doa Agar Alloh CInta

Sahabat ingin dicintai Alloh? Tentu.
Perbanyaklah membaca doa ini














[klik pada gambar untuk memperbesar]
Selengkapnya...