harisanusi.com - Abtraksi singkat
dari berbagai syiar Islam telah dibahas pada penutup bagian pertama. Karena
itu, pada bagian kedua ini akan dijelaskan sejumlah hikmah yang terkait dengan
Ramadhan yang penuh berkah di mana ia merupakan syiar yang paling cemerlang dan
mulia. Bahasan ini berisi uraian tentang sembilan catatan yang menerangkan sembilan dari sekian banyak
hikmah Ramadhan.
بِسْمِ الله الرَّحْمنِ الرَّحيمِ
شهْرُ
رَمـضَانَ الَّذى اُنْزِلَ فيهِ القرآن هُدىً للِنَّاسِ وَبَيّنَاتٍ مِنَ الْهُدى وَالْفُرْقَانِ
“Ia
adalah bulan Ramadhan yang di
dalamnya Alquran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai
penjelasan tentang petunjuk dan pembeda (antara yang hak dan batil)” (al-Baqarah, 185)
Catatan Pertama
Puasa bulan
Ramadhan berada di antara rukun-rukun pertama dari rukun Islam yang lima. Ia
termasuk syiar Islam yang paling agung.
Di samping ditujukan
untuk menampakkan rububiyah Allah Swt sebagian besar hikmah puasa Ramadhan ditujukan
untuk kehidupan sosial dan pribadi manusia, ditujukan untuk pembinaan dan
penyucian diri, serta ditujukan untuk mensyukuri berbagai nikmat ilahi.
Salah satu
hikmah dari sekian banyak hikmah yang memperlihatkan rububiyah Allah lewat
puasa adalah sebagai berikut:
Allah Swt
telah menciptakan muka bumi sebagai hidangan yang penuh dengan nikmat tak
terhingga. Dia menyiapkannya dengan indah dalam bentuk yang tak pernah
diperkirakan sama sekali oleh manusia. Dengan kondisi tersebut Allah
menjelaskan kesempurnaan rububiyah-Nya dan rahmat serta kasih sayang-Nya. Hanya
saja karena tertutup oleh hijab kelalaian dan tirai sebab, manusia tidak bisa
melihat hakikat yang sangat jelas tersebut dengan sebenarnya. Nah, pada bulan
Ramadhan yang penuh berkah, kaum beriman seketika menjadi seperti pasukan besar
yang semuanya mengenakan selendang ubudiyah kepada Allah dan berada dalam
posisi siap berbuka guna menyambut undangan ilahi, “Silahkan!” menuju jamuan-Nya
yang mulia. Dengan kondisi tersebut, rahmat Tuhan yang mulia dan komprehensif
itu mereka sambut dengan ubudiyah yang rapi dan agung. Apakah menurutmu mereka
yang tidak ikut serta dalam ubudiyah mulia itu layak disebut sebagai manusia?
Sumber : Risalah Nur - Bediuzzaman Said Nursi
No comments:
Post a Comment