“Tidak ada cara untuk
mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” (Al-Amidi)
Definisi Ushul Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua
sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah,
kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya
Al-Ushul
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara
etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi,
asas, atau akar).
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, ashluha (akarnya) teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24)
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil,
misalnya: para ulama mengatakan:
أصل هذا الحكم من الكتاب آية كذا
(Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam
Al-Qur’an).
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang
dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum, sedangkan
dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.
Al-Fiqh
الفقه في اللغة: العلم بالشيء والفهم له
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman
terhadap sesuatu.
Menurut istilah para ulama:
الفقه: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang
diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
الحكم: إسناد أمر إلى آخر إيجابا أو سلبا
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau
penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah menghukumi dunia bila
kita mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita
menisbatkan sifat fana kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya.
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah
status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), apakah
perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau apakah
perbuatannya itu sah, atau batal.
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut
dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika),
seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari sebagian,
tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari
syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas
membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh
hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli fiqh), cukup baginya
mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu
kemampuan mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian
dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah
(praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya,
atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat
i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah,
sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak
berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini
juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam
terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang
hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri
sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan
ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian
pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat
ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak
didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(Al-Baqarah: 278).
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun
besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada pokok masalah yang
bersifat praktis.
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri
didefinisikan oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:
معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana
menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad),
serta apa syarat-syarat seorang mujtahid).
Penjelasan Definisi
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah
sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya
menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat
dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan
seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar
misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang
berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya
lebih rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang
bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang
belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya,
dan seterusnya.
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat mengambil kesimpulan
sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah
saw.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali
mendefinisikan ushul fiqh dengan:
العلم بالقواعد الكلية التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من
أدلتها التفصيلية
(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk
melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap
bagian yang ada di bawahnya.
Contoh kaidah umum:
الأصل في الأمر للوجوب
(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah
mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain yang menjelaskan
maksud lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt dalam
surat Al-Baqarah ayat 43:
((وآتوا الزكاة))
(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena
setiap perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada ayat lain
ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini
ayat tersebut adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil
yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil rinci lain yang
sejenis.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang
mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan
kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode
berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat.
Cakupan Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang
membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki
bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum
Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat
Mursalah, dan lain-lain).
Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang
mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa
karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan
keadilan dan rahmat Allah.
Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid
memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat
Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita
pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau
hadits lain.
Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak
seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya.
Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
Tujuan Ushul Fiqh
غاية أو ثمرة علم الأصول: الوصول إلى معرفة الأحكام الشرعية
بالاستنباط
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah
(tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat melakukan istinbath
hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara langsung.
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di
antaranya:
Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh
oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.
Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.
Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan
kemampuan di bidang fiqh secara benar.
Sandaran Ushul Fiqh
1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran
Al-Qur’an dan Sunnah serta kedudukannya sebagai sumber hukum/dalil syar’i
bersumber dari pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan
perbuatan-Nya yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap
kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu tauhid.
2. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab,
maka untuk memahami maksud setiap kata atau kalimat di dalam Al-Quran dan
Sunnah mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama
mengatakan bahwa:
الأمر يقتضي الفور
(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung
tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli bahasa
mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: “Ambilkan saya air
minum!” lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.
3. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:
الأصل في الأمر للوجوب
(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya
adalah:
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu
merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63)
4. Akal, misalnya kaidah ushul:
إذا اختلف مجتهدان في حكم فأحدهما مخطئ
(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi
suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya adalah logika, karena
akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah
kemustahilan.
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara
untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang
mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib baginya
untuk bertanya:
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu
tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak
boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak bisa
mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab
tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul
fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua orang,
karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa
menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu
a’lam.”
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i
yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya,
muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah
berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode
seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang
bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana
dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu
berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti
posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu
nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan
berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari
kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
Sumber: www.dakwatuna.com
No comments:
Post a Comment