Suatu Pagi Yang Kami Cintai

Print Friendly and PDF


Kubuka mataku, juga seluruh santri, bergegas bangkit dari nikmatnya tidur, kulihat jam, oh ternyata sudah pukul 03.00. Masih dalam pembaringan, dengan tubuh tergolek namun pikiranku sudah meninggi dalam impian dan keindahan munajat untuk Rabb kami, Allah. Keindahan berdiri yang panjang, bacaan yang membawa jiwaku terbang dalam ketinggian, nikmatnya ruku, lamanya sujud dan panjangnya doa-doa yang terangkai. Ah, sontak aku melejit dalam impian untuk bersegera. Yah, bersegera dan berlari menuju Allah dan mengharapkan maghfirohNya di awal kehidupan baru ini.



Waktu masih sahur, air yang sejuk memberi kesadaran yang lebih, kubasuh muka, kuambil sikat, kubersihkan mulut dan gigi. Ah, kembali rasa syukur terucap atas segala kesegaran ini. Kami mulai suatu aturan yang indah dalam merangkai perjalanan ibadah kepada pemberi segala kenikmatan ini, bercucuran air wudhu, menetes perlahan dari rambut, jatuh ke dahi, terus ke pipi dan jatuh bebas bersama kotoran dan dosa diri. Alangkah indahnya. Begitupun, berjatuhan, jatuh bebas dosa dan kotoran dari sela-sela jari kaki, tangan, wajah, ah, sungguh luar biasa. Perlahan tapi pasti, terasa ruh menjadi lepas, segar dan bergairah karena belenggu, beban kotoran, dosa itu jatuh bebas dengan kehendakNya. Sungguh indahnya.

Dan pakaianmu maka bersihkanlah. Kuambil pakaian yang baru, kukenakan topi dan mulailah kembali pengembaraan jiwa menuju ketinggian, menegakkan sholat. Allaahu Akbar. Mulailah jiwa terbang bersama kalimat-kalimat yang telah ditetapkan Rabb kami, kadang terbang diwilayah keindahan tanpa kata mampu terucap, kadang melewati wilayah kengerian luar biasa dengan cepat, kadang terbang perlahan dan bahkan berhenti sejenak dalam wilayah kenikmatan tiada bandingannya, jauh berbeda dengan kenikmatan dunia, kadang berada diwilayah tanpa kata, ketakjuban, kebesaran, kesempurnaan sehingga diri menjadi sangat tidak berarti apa-apa. Tapi ada saat kami berkenalan, memahami, dan menjadi yakin ketika kami melihat episode-episode kehidupan orang-orang mulai dalam hidupnya, berkenalan dengan para nabi dan rasul itu, di setiap kurun waktu dan zaman. Begitulah, Rabb kami mengajarkan dan mendidik kami ketika kami berada diwilayah ketinggian ini. Benar-benar nikmat tiada bertepi. Assalamu’alaikum warahmatulahi wabarakaatuh, kata ini mengakhiri perjalanan di wilayah ketinggian ini. Pun kerinduan muncul kembali untuk mengulang dan terus mengulang perjalanan nan indah ini. Kalau tidakpun kami merindukannya sebagai tempat-tempat beristirahatnya jiwa kami saat terasa berat.

Terdengar kokok ayam bersahutan, kulihat jam, waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi, senang rasanya kalau peristiwa ini tidak pernah berakhir. Tapi itu hanya harapan. Tapi lebih baik kurangkai harapan ini dengan untaian sepilihan doa agar menjadi dan bersama orang-orang yang kutemui dalam perjalanan yang abadi dalam Quran yang penuh dengan kemuliaan, kebersihan hati, ketegaran, pengorbanan dan aliran mata rantai kejernihan dan pengabdian kepada kehidupan kekal & abadi. Akhirat. Disinilah terasa keindahan yang lain. Keindahan berharap, munajat dan doa. Harapan kepada dzat yang tidak pernah mengecewakan, dan dzat yang malu bila ada yang meminta kepadaNya lantas tidak mengabulkannya. Dialah Allah tiada Tuhan selain Dia.

Hati, jiwa dan ruh terasa makin jernih dan kokoh. Udara di setiap pagi memang berbeda, kuhirup dalam-dalam dan terasa ia mendorong jauh kedalam jiwa untuk bangkit dan berbuat, untuk memberi dan berkorban. Adzan yang kutunggu pun berkumandang dengan syahdu dan nikmat. Kalimat-kalimat thoyyibah mengalir diudara yang membawanya masuk kedalam ruang gendang pendengaran, melalui urat syaraf dan masuk ke dalam jiwa dengan indah. Kuputar kunci pintu, lalu dengan tenang berjalan dengan perasaan indah dan alam yang sekitar yang indah. Bintang-bintang masih terang menyapa, udara yang begitu segar, enak dan nikmat, kembali kuhirup dalam-dalam. Suasana masih gelap tapi indah. Bersamaan dengan tapak-tapak kaki menuju rumah Allah, lisanpun berharap agar kanan menjadi cahaya, kiri menjadi cahaya, depan menjadi cahaya, belakang menjadi cahaya, hati menjadi cahaya dan diri menjadi cahaya.
Sampailah kaki-kaki kami memasuki rumah Alloh, mesjid. Tempat terbaik dan disukai Allah di jagad semesta ini. Tertunduk, khusyu dan patuh kepada Allah Yang Maha Besar. Dari sini kami belajar bahwa tiada yang hebat melainkan mereka yang sanggup tunduk, menyerah pasrah dan patuh kepada Sang Maha Sempurna, Pemilik Kemuliaan dan Kekuasaan Sejati. Berbaris tegak, ruku dan sujud kami dalam rangkaian miraj ruhani dan berlanjut dengan basahnya bibir karena dzikir panjang menjelang terbit matahari di ufuk timur.

Inilah episode yang senantiasa kami rindukan setiap pagi, setiap hari. Menjadi ’santri’. Menjadi Abdillah. Karenanya, kamipun siap untuk mempersembahkan amal yang terbaik sepanjang hari. Amal yang berarti didunia dan bermakna untuk kehidupan akhirat. Bergabunglah bersama dalam nauangan cinta dan ridho ilahi. Semoga sahabat pun demikian. Amiin.

Hari Sanusi, Muhammad. +62 812 853 2784

Artikel Terkait



No comments:

Post a Comment